Mengais Rezeki Dari Loper Koran Yang Kini Sudah Mulai Ditinggalkan
Loper koran tua di aceh
Senang rasanya setiap kali melewati dua perempatan di Banda Aceh yaitu perempatan Jl. AMD dan Simpang Surabaya (Jl. Dr. Mr. Muhammad Hasan) setiap pagi di sini ada orang tua yang menjual koran lokal.
Di simpang Surabaya yang jualan adalah nenek-nenek, yang di Jl. AMD adalah kakek-kakek, apakah mereka pasangan suami-istri? Mungkin saja ya atau tidak bagi saya sebetulnya gak jadi masalah. Keduanya luar biasa di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi setiap pagi mereka berjuang untuk mendapatkan rezeki.
Loper Koran | Serambinews |
Di simpang Surabaya yang jualan adalah nenek-nenek, yang di Jl. AMD adalah kakek-kakek, apakah mereka pasangan suami-istri? Mungkin saja ya atau tidak bagi saya sebetulnya gak jadi masalah. Keduanya luar biasa di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi setiap pagi mereka berjuang untuk mendapatkan rezeki.
Setiap hari saat lewat ke lokasi tersebut saya perhatikan, di hari yang cerah dan cuaca bagus tumpukan korannya tidak terlalu banyak, apalagi pas musim hujan. Makin berkurang lagi...tapi namanya juga usaha, rizki selalu ada jika kita mau mengusahakannya. Kalau jumlahnya memang relatif tergantung tingkat keterdidikan, pangalaman, dan rizki orang tersebut.
Dengan penuh semangat keduanya menawarkan koran saat lampu merah menyala. Si Kakek dengan senyum khasnya dan berbicara menggunakan bahasa Aceh, maaf saya kurang paham juga yang penting melalui isyarat kita paham.
Begitu juga dengan Si Ibu, dengan memanfaatkan lampu merah menawarkan koran yang ditentengnya. Cukup mengacungkan tangan, berkeliling di sela-sela mobil & motor. Berharap bertemu dengan orang yang membutuhkan korannya.
Semua usahanya tidak pasti, kadang di depan saya banyak yang beli, kadang sepi juga. Gimana dengan saya? Sama kalo gak mepet tentunya beli, kalo mepet dan lampu sudah hijau lewat juga. Tapi setidaknya setiap kali lewat beliau dengan senyum khasnya pertanda koran wajib ada di tangan saya.
Kalo soal bacanya, kadang ya kadang tidak. Kalo ada isu yang hangat seperti club bola favorit dan hal-hal yang berbau sejarah, tentunya saya tidak absen untuk membacanya. Karena keduanya menarik buat saya.
Kita akui memang digitalisasi saat ini sudah menggilas media cetak. Semua sudah ada di gadget, tinggal klik, apapun kita dapat mengaksesnya selama terhubung ke internet. Apakah media cetak akan habis, saya yakin tidak akan habis akan tetapi jumlahnya akan semakin berkurang.
Dulu waktu SD memang loper koran cukup menjanjikan, hampir setiap rumah tidak asing pagi-pagi membaca koran langganannya. Tidak terkecuali calon mahasiswa baru yang ikut Sipenmaru atau UMPTN berebut koran untuk memastikan kelulusannya di perguruan tinggi negeri idaman.
Loper koran sibuk, calon mahasiswa sibuk, para pembaca pun sibuk karena takut kehabisan. Begitu juga di angkutan umum, pemandangan yang tidak asing saat di bus para pembaca beradu tangan karena membuka lembaran koran yang begitu lebar. Itu lah seni media cetak yang pernah jaya pada masanya.
Saat ini memang masih ada pembaca setia yang ingin mendapatkan informasi dari media cetak seperti koran. Namun golong millennial atau yang lebih muda lagi, informasi dari gadget sangat mudah dan otomatis meninggalkan media cetak seperti koran yang dianggap kudet dan ribet.
Dulu koran, sekarang gadget. Sudah tidak asing lagi setiap orang di keramaian fokus melihat layar hp. Hampir setiap orang jari-jari mereka lincah menari-nari ke atas-bawah, kanan-kiri, bahkan sesekali digeser dengan gerakan khas untuk memperbesar objek yang ingin diperjelas dari konten hp.
Saat ini memang gadget menjadi menu utama, tua-muda, hingga balita sudah menikmati dan berselancar di dunia maya. Fakta yang tak terbantahkan adalah "pegang" hp lebih sering ketimbang "pegan" istri. Itulah pengakuan paling jujur dari Bapack-bapack, termasuk saya.
Balik ke Sang Kakek & Nenek loper koran, saya akui mereka luar biasa. Dengan berjualan koran dengan harga Rp. 3.000 / eksemplar berapa untung mereka? Apa mungkin hanya Rp. 200/ eksemplar koran? Jika demikian maka itu merupakan suatu yang luar biasa. Saya sendiri tidak membayangkan betapa hebatnya mereka bisa me-manag keuangan keluarga.
Luar biasa, itu pemikiran saya yang dangkal. Tapi di sisi lain otak kadal saya juga bertanya-tanya: jangan-jangan dia hanya iseng saja jualan koran untuk mengisi waktu dan cari kawan, padahal faktanya memiliki lahan pertanian yang luas, kebun sawit yang luas, pertambangan yang hebat, dan lain-lain sebagai passive income.
Bisa jadi karena saya lihat hanya di permukaan saja, dalamnya saya nggak tahu. Tapi dengan kegigihan mereka tentunya perlu diacungi jempol. Anak muda yang masih sehat-walafiat belum tentu mau dan bisa melakukan hal yang sama dengan mereka.
Lebih menjanjikan untuk jadi Youtuber, Tiktoker, Selebgram, atlete e-Sport atau Marketplace Affiliate. Duduk manis di ruangan khusus (studio), buat konten yang menarik, jadi selebriti (orang yang terkenal) cuan ngalir tiap bulan.
Itu lah kemudahan era digitalisasi anak-anak muda seakan gak ada kerjaan, bisa jadi penghasilan dia luar biasa. Memang saat ini tidak bisa dilihat dari luar, perlu mengetahui, mengenali, dan terjun langsung dalam aktivitas mereka.
Di sisi lain, sisi hitam digitalisasi dengan mudah para spamer atau phishing menyebarkan undangan pernikahan, kiriman paket, dan APK untuk menjebol data-data penting masyarakat. Dari situ juga mereka dapat cuan yang luar biasa besarnya. Itu lah dunia sama-sama makan, sama-sama dapat rezeki akan tetapi yang membedakan adalah cara mendapatkan rezekinya itu apakah halal atau tidak.
Balik ke Kakek-Nenek penjual koran. Sekalipun koran saat ini menjadi nomor dua dibandingkan dengan gadget untuk mendapatkan informasi, akan tetapi tetaplah tegar berdiri, tetaplah berjuang dengan profesi saat ini, rizki tidak akan pergi kemana.
Lantas tugas kita bagaimana, jika ada rizki dan kesempatan tentunya jangan absen untuk membeli korannya. Keluarkan uang secukupnya, dan jangan meminta kembalian. Biarkan sisa uang kita menjadi berkah bagi kita dan mereka.
Bagaimana dengan korannya? sebetulnya saya selalu berdialog dengan diri sendiri termasuk bos yang arogan yaitu Ego. Jangan membahas mengenai isi koran, membaca atau tidak, berguna atau tidak? Tapi saya punya kewajiban bagaimana Si Kakek atau Nenek itu tersenyum dan tetap berkomunikasi dengan bahasa isyarat (walaupun kadang gak ngerti :).
Sehat selalu Sang Kakek dan Nenek, semoga ikhtiarnya membawa keberkahan, aamiin. Terima kasih
Join the conversation